Lima Tantangan Utama Industri FinTech Indonesia di 2021
PPandemi Covid-19 telah membantu mempercepat digitalisasi sektor keuangan, termasuk memperkuat kebiasaan perdagangan dan penggunaan layanan keuangan digital. Orang dalam industri ingin pemerintah memperketat regulasi untuk mendukung pertumbuhan ekosistem fintech yang komprehensif dan berkelanjutan.
Karena regulasi yang kuat bisa menjadi faktor Penerobosan Hal ini juga merupakan salah satu upaya untuk mencapai pemulihan ekonomi suatu negara dan meningkatkan penerimaan negara.
Baca juga: Survei LD FEB UI: FinTech dan Pinjor Kepentingan Milenial dan Industri Kreatif
Menurut Hendri Saparini, anggota Steering Committee Indonesian FinTech Society (IFSoc), industri fintech aktif membantu pemerintah menggerakkan perekonomian Indonesia di tengah goncangan ekonomi akibat pandemi. Diantaranya adalah penggunaan kartu prakerja dan program QRIS sebagai inovasi bagi Bank Indonesia.
Salah satu keunggulan QRIS adalah masyarakat dapat bertransaksi dengan cepat, mudah, murah dan aman. Namun, IFSoc percaya bahwa membina kolaborasi diperlukan untuk menciptakan situasi yang bermanfaat bagi semua pemangku kepentingan. BI perlu melihat struktur insentif dan disinsentif dalam penerapan QRIS, terutama terkait harga dan akuisisi merchant.
Butuh kolaborasi dan strategi inovatif
“Inklusi keuangan adalah salah satu kebijakan utama dalam pemulihan ekonomi suatu negara. Pemerintah perlu bekerja sama dengan FinTech untuk menyiapkan strategi inovatif untuk mendistribusikan akses yang sama ke literasi keuangan dan layanan FinTech. Ya, ”kata Hendri dalam siaran pers yang diterima Gizmologi.
Sementara itu, Dr. Agustinus Prasetyantoko, salah satu anggota Steering Committee IFSoc, menjelaskan bahwa FinTech telah memberikan kontribusi nyata dalam meletakkan fondasi bagi pemulihan ekonomi negara pasca gejolak COVID-19 tahun 2021.
Untuk itu, IFSoc mendorong pemerintah, BI dan OJK untuk mengembangkan strategi dan roadmap fintech dan digital nasional yang terintegrasi untuk membawa fintech Indonesia ke level selanjutnya. IFSoc akan terus berperan sebagai mitra pembuat kebijakan, masyarakat dan pelaku industri,” ujar Rektor Universitas Katolik Atmajaya.
Tantangan dan Peluang FinTech
Saat ini, kesenjangan digital tetap menjadi isu yang mendesak untuk ditangani. Indeks inklusi keuangan Indonesia pada 2021 sebesar 76%, lebih rendah dari Singapura (98%), Malaysia (85%) dan Thailand (82%). Oleh karena itu, IFSoc mengucapkan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Perpres tersebut merupakan bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tujuan agar seluruh rakyat Indonesia dapat mencapai inklusi keuangan dan mencapai 90% dari indeks inklusi keuangan Indonesia pada tahun 2024.
Kerja sama pemerintah, perbankan, dan pemangku kepentingan industri tekfin berpotensi memfasilitasi adopsi layanan keuangan digital secara besar-besaran dan meningkatkan tingkat inklusi keuangan secara signifikan. Di masa pandemi, perbankan dan fintech terus berinovasi agar masyarakat bisa mendapatkan pinjaman dengan proses yang lebih cepat dan mudah.
Selain itu, FinTech juga mendorong peningkatan investasi, seperti penjualan eceran Surat Berharga Negara (SBN) dengan menggunakan FinTech. Saat ini, platform berbasis fintech dengan cepat mempercepat penetrasi ke pasar SBN ritel.
IFSoc mengatakan dalam proyeksi industri fintech 2021 bahwa ada beberapa momentum dan regulasi penting yang akan menentukan pertumbuhan industri fintech dalam meningkatkan inklusi keuangan.
1. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP)
Meningkatnya penggunaan teknologi digital di sektor keuangan telah menyebabkan perubahan lanskap risiko yang berfokus pada risiko siber, anti pencucian uang, risiko operasional, dan perlindungan data.
Terkait perlindungan data, hingga akhir tahun 2021, Indonesia belum memiliki undang-undang perlindungan data pribadi (PDP) yang komprehensif. Setidaknya 136 negara telah memberlakukan undang-undang tersebut, termasuk Malaysia sejak 2010, Singapura dan Filipina sejak 2012, dan negara-negara ASEAN seperti Thailand sejak 2021.
Sebagai salah satu rancangan peraturan perundang-undangan (RUU) yang masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) Prioritas, keberadaan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi pada tahun 2021 sangat dibutuhkan.
“Dengan pesatnya perkembangan aktivitas dan inovasi dalam layanan keuangan digital, IFSoc percaya bahwa diperlukan tindakan yang tepat untuk menangani aspek PDP, terutama perlindungan pengguna terkait pengumpulan dan penggunaan data pribadi mereka. Saya akan melakukannya,” kata Jose . Rizal Damuri, seorang ekonom di CSIS dan anggota Komite Pengarah Masyarakat FinTech Indonesia (IFSoc), mengatakan:
2. Bank digital
Transformasi layanan digital juga terlihat pada perkembangan konsep bank digital oleh para pelaku industri perbankan dan fintech. Oleh karena itu, regulator sangat mendesak dikeluarkannya ketentuan khusus untuk bisnis perbankan digital.
IFSoc percaya bahwa bank digital dapat mengubah situasi di industri perbankan Indonesia, mengingat fakta bahwa 50% orang tidak memiliki rekening bank. Bank digital dapat mempercepat penetrasi layanan perbankan ke daerah terpencil dengan biaya lebih rendah daripada membangun cabang fisik. Karena pertumbuhan perbankan digital yang pesat, OJK akan mengeluarkan peraturan khusus pada tahun 2021.
3. Pinjaman P2P
Penyaluran pinjaman dari P2P lending terus meningkat di masa pandemi. Total kumulatif telah mencapai Rp. 128,7 triliun per September 2021. OJK saat ini sedang membuat aturan baru untuk Layanan Reksa Dana Berbasis Teknologi (LPBBTI) atau P2P lending dan mengubah aturan sebelumnya.
IFSoc berharap peraturan OJK yang baru ini akan semakin memastikan penerapan prinsip-prinsip perlindungan konsumen sekaligus mendorong inovasi dan pertumbuhan akses layanan keuangan digital. Mengingat kompleksitas FinTech yang semakin meningkat, IFSoc mengapresiasi upaya pemerintah yang memprioritaskan koordinasi semua pihak untuk memastikan fungsi pengawasan tetap berjalan.
4. Modul Digitalisasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETP) dan Penerimaan Negara Generasi Ketiga (MPN-G3)
Era new normal merupakan momentum untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan penerimaan negara serta mempercepat dan memperluas digitalisasi pelayanan pemerintah. Ini termasuk Inisiatif Digitalisasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETP) dan Modul Pendapatan Nasional Generasi Ketiga (MPN-G3). Hal ini disebabkan adanya perubahan pola interaksi dalam masyarakat yang cenderung mengurangi kontak, termasuk transaksi.
Pada tahun 2021, pemerintah dan DPR menetapkan target penerimaan negara sebesar Rp1,74,3 triliun. Fintech diyakini mampu memenuhi kebutuhan teknis yang harus diterapkan pada ETP dan MPN-G3. Mereka bertujuan untuk meningkatkan kualitas penerimaan negara dan pelayanan publik, termasuk kecepatan transaksi keuangan, transparansi, dan pencegahan kebocoran penerimaan negara, meningkatkan penerimaan negara dan mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD).
5. Penyaluran Bantuan Sosial (G2P)
IFSoc berhasil menghilangkan peran mediator dalam penyaluran insentif program kartu prakerja dan menjadikan FinTech sebagai penyaluran bansos, mengingat dapat dikembangkan untuk skema bansos murni. .
Karakteristik dan jangkauan FinTech dapat dimaksimalkan untuk mencapai target 6T (tepat target, tepat waktu, tepat kuantitas, tepat harga, tepat kualitas, tepat manajemen). Oleh karena itu, IFSoc percaya bahwa integrasi FinTech yang berkelanjutan dalam distribusi dukungan sosial nontunai perlu melibatkan identifikasi tantangan, mendukung penelitian kebijakan, dan mempersiapkan ekosistem operasional.
Post a Comment for "Lima Tantangan Utama Industri FinTech Indonesia di 2021"